Raja George III dikenal sebagai salah satu pemimpin paling kontroversial dalam sejarah Inggris. Selain terkenal karena kehilangan koloni Amerika, ia juga dijuluki sebagai "Raja yang Gila" karena kondisi mentalnya yang memburuk seiring waktu. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi dengan sang raja?
George III naik tahta pada usia 22 tahun dan awalnya dikenal sebagai raja yang rajin dan konservatif. Ia dikenal sebagai raja pertama dari dinasti Hanover yang lahir dan besar di Inggris, serta menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu.
Pada tahun 1788, George mulai menunjukkan perilaku aneh: berbicara tanpa henti selama berjam-jam, berbicara dengan pohon, dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai. Dokter saat itu menyebutnya sebagai “kegilaan” — yang kini diduga kuat sebagai gangguan bipolar atau penyakit porfiria.
Beberapa ilmuwan percaya George III menderita porfiria — kelainan darah langka yang bisa menyebabkan gejala neurologis. Namun, teori modern menyebutkan gejala yang lebih cocok dengan gangguan bipolar. Penelitian DNA belum bisa memastikan diagnosis pastinya.
Karena kondisi mentalnya, kekuasaan politik sempat berpindah ke putranya, George IV, sebagai pemangku jabatan (Prince Regent). Ini dikenal sebagai era Regency. George III tak lagi bisa hadir dalam kehidupan publik hingga wafatnya pada tahun 1820.
Kisah George III menjadi pelajaran berharga bahwa bahkan raja pun tidak kebal terhadap penyakit mental. Di balik kemegahan istana, ada penderitaan yang tak terlihat oleh rakyatnya.
Jadi, itulah kisah Raja yang dianggap “gila” oleh banyak orang — bukan karena ia lemah, tapi karena dunia belum memahami kesehatan mental seperti sekarang.
Dan yah, segitu aja cerita kali ini, dan jangan lupa untuk KepoinAja! 🔍✨
S U M B E R